Senin, 05 Mei 2014

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENDERITA KERUGIAN DALAM TRANSAKSI PROPERTI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Pada Pengembang Perumahan PT. Fajar Bangun Raharja Surakarta) (PERLINDUNGAN KONSUMEN)



PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENDERITA
KERUGIAN DALAM TRANSAKSI PROPERTI
MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Pada Pengembang Perumahan PT. Fajar Bangun Raharja Surakarta)


A. Pendahuluan
Pada tanggal 20 April 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mulai efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan materi UUPK cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat difahami mengingat kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan akibat perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi konsumen. Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha , pada mulanya berkembang adagium caveat emptor (waspadalah konsumen), kemudian berkembang menjadi caveat venditor (waspadalah pelaku usaha). Ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk (production oriented ),
maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa inikonsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam
posisi didikte oleh produsen . Pola konsumsi masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak
mungkin lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar ( market oriented ). Pada masa ini pelaku usahalah
yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang- barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan ( Johannes Gunawan, 1999 : 44 ). Di dalam UUPK antara lain ditegaskan,pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memper-dagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan dilaksanakan oleh para
pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan konsumen

B. Tinjauan Pustaka
Consumer is an individual who purchases,or has the capacity to purchases,goods and services offered for sale by marketing institutions in order to satisfy personal or household needs,wants or desires. Sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak atau orang lain. Kata konsument (Belanda) oleh para ahli hukum telah disepakati sebagai pemakai
terakhir dari benda dan jasa (uitenindelijk gebruiker van gordern en diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernemer) / ( Prasetyo Hadi P, 1997 : 4 ). Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang. Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan  pihak lain, maka terjadi hubungan tidak langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling interdependensi. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. JF. Kennedy mengemukakan adanya
empat hak dasar konsumen (JF. Kennedydalam Gunawan Wijaya, 2000 : 27):
1. the right to safe products ;
2. the right to be informed about products;
3. the right to definite choices is selecting
products ;
4. the right to be heard regarding consumer
interest.
Dalam perkembangannya, oleh organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU), empat hak dasar tersebut ditambah dengan : hak untuk
mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di dalam Rancangan Akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang disusun Universitas Indonesia tahun 1992, hak dasar konsumen tersebut dikembangkan dengan ditambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ( Prasetyo HP, 1997 : 6 ). Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Kata sepakat dari mereka yang
mengikatkan dirinya (toestemming van
dengenen die zich verbiden );
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan (de bekwaamheid om een
verbintenis aan te gaan);
3. Suatu hal tertentu (een bepaald
onderwerp); dan
4. Suatu sebab yang halal (een geloofde
oorzaak).
Sedangkan Pasal 1365 KUH Perdata mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat ‘kesepakatan’ perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak balance . Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak ada sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syaratsyarat atau salah satu syarat sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata
tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut (Subekti, 1992;35 ).
Masalah tanggung jawab hukum perdata (civielrechtelijke aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur adanya pertanggungjawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ). Di samping itu, undang-undang mengenal pulapertanggungjawaban oleh bukan si pelaku perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri , tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan-nya, disebabkan oleh barangbrang yang berada di bawah pengawasannya. Dari pasal ini nampak adanya pertanggungjawaban seseorang dalam kualitas tertentu(kwalitatieve aansprakelijkheid) (Mariana Sutadi , 1999:113). Disamping itu, di dalam UUPK juga telah diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19. Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen. Secara teoritik, di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur beberapa macam tanggung jawab ( liability )
sebagai berikut ( J. Gunawan, 1999 : 45-46 )
1. Contractual Liability
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability (Pertanggungjawaban Kontraktual), yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasil-kannya atau memanfaatkan jasa yang diberi-kannya. Selain berlaku UUPK, khususnya ketentuan tentang pencantuman klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPK, maka tanggung jawab atas dasar perjanjian dari pelaku usaha, diberlakukan juga hukum perjanjian sebagaimana termuat di dalam
Buku III KUH Perdata.
2. Product Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product Liability (Pertanggungjawaban Produk), yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (Strict Liability ) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya.
3. Professional Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar (inspanningsverbintenis),
maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Professional Liability (Pertanggungjawaban Profesional), yang menggunakan tanggungjawab perdata secara langsung (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.Sebaliknya, dalam hal terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, dan prestasi pemberi jasa tersebut terukur sehingga merupakan perjanjian hasil (resultaants verbintennis),maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Professional Liability , yang menggunakan tanggung jawab
perdata atas dasar perjanjian (Contractual liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.
4. Criminal Liability
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat ( baca: konsumen), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Criminal Liability (pertanggungjawaban pidana), yaitu tanggungjawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen).
 
G. DAFTAR PUSTAKA
A.Z. Nasution . 1990. “Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen “. Hukum dan Pembangunan. Nomor 6
Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
—————————. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta : Daya Widya.
Gunawan Widjaya. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Hady Evianto. 1999. “Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan Melainkan Suatu
Kebutuhan”. Hukum dan Pembangunan. Nomor 6 Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Husni Syawali. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : Mandar Maju.
Johannes Gunawan. “ Tanggungjawab Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen” Jurnal Hukum Bisnis. Volume 8 Tahun 1999. Jakarta : Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis.
Mariam Darus Badrulzaman. 1986. Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar).
Jakarta : Binacipta.
Mariana Sutadi. 1999. Tanggungjawab Pengusaha Dalam Hal Terjadi Kecelakaan Lalu Lintas. Yogyakarta
: Kiberty.
Prasetyo Hadi Purwandoko. 1997. “Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen”. Makalah, Disampaikan
Pada Seminar Nasional Perlindungan Konsumen Dalam Era Pasar bebas. Diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum UNS, Tanggal 15 Maret 1997.
Samsi Haryanto. 1999. “Penelitian Kualitatif” Makalah. Disampaikan pada Penataran Penelitian, Tanggal
11-12 Nopember 1999. Surakarta : Fakultas Hukum UNS.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakrta : Grasindo.
Subekti. 1992. Hukum Perjanjian . Jakarta : Pradnja Paramita.
Sutopo HB. 1990. “Metodologi Penelitian Sosial. Penopang Teoritik dan Karakteristik Penelitian Kualitatif”.
Makalah. Disampaikan pada Training Penelitian Bidang Sosial. Surakrta : Fakultas Hukum UNS.
—————. 1991. “Metodologi Penelitian Kualitatif. Pemahaman Lewat Karakteristik dan teori
Pendukungnya”. Makalah. Disampaikan pada Diskusi Dosen Fakultas hukum UNS. Surakarta : fakultas
hukum UNS.
Yusuf Shofie. 2000. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Zumrotin. 1997. “Problematika Perlindungan Konsumen di Indonesia, Sekarang dan yang Akan Datang”.
Makalah. Disampaikan Dalam Seminar Nasional Perlindungan Konsumen Dalam Era Pasar Bebas
Tanggal 15 Maret 1997. Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 42. Tahun 1999.


NAMA KELOMPOK :

ANGGI ADRIAN             (20212901)
ANNE RAHMA S             (20212947)
DIAN OCTAVIANA          (22212029)
FINA KURNIA KD           (22212959)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar