PERLINDUNGAN HAK-HAK
KONSUMEN TERHADAP PENGGUNAAN PRODUK PROVIDER TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA
Oleh
: Adery P. Winter1
D. PEMBAHASAN
1. Hak-hak Konsumen produk provider telekomunikasi
di Indonesia
Berbicara
tentang Hak-Hak Konsumen tentunya tidak terlepas dengan Kewajiban Pelaku Usaha,
lebih lanjut lagi membicarakan tentang Hak Konsumen dan Kewajiban Pelaku Usaha
tentunya tidak akan terlepas dengan Kewajiban Konsumen dan Hak Pelaku Usaha.
Sehubungan dengan Hak dan Kewajiban Konsumen serta Hak dan Kewajiban Pelaku
Usaha, hal ini telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Hak-hak konsumen adalah hak-hak yang bersifat universal.
J.F Kennedy menentukan ada empat Hak Dasar konsumen, adalah sebagai berikut:11
a. Hak memperoleh
keamanan (the tight to safety);
b. Hak memilih (the
right to choose);
c. Hak mendapat
informasi (the right to be informed);
d.
Hak untuk didengar (the right to be heard).
Oleh
Undang-undang Nomor 8 Thun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4
secara eksplisit memuat delapan hak konsumen, sementara satu hak yang terakhir
dirumuskan secara terbuka. Maka Berangkat dari Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang menjadi Hak-hak Konsumen produk provider telekomunikasi,
adalah sebagai berikut:
a. Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih
barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang/dan atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
f.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h. Hak untuk
mendapatkan disepensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, jika barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan PerUndang-undangan yang lain.
Selanjutnya
di samping hak-hak Konsumen produk provider telekomunikasi tersebut di
atas, Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang
Kewajiban konsumen yaitu:
a. Membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai
dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Demi
untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para pihak, maka undang-undang Perlindungan Konsumen telah
memberikan peraturan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen dan
pelaku usaha. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Pasal 6 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, menyatakan Hak penyelenggara produk provider telekomunikasi di
Indonesia sebagai pelaku usaha, adalah:
a. Hak menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c. Hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. Hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan PerUndang-undangan lainnya.
Selanjutnya
Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan Kewajiban penyelenggara
produk provider telekomunikasi di Indonesia sebagai pelaku usaha,
adalah:
a.
Beritikad baik;
b. Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan
pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau
melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskrimanatif;
d. Menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila baran dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
h. Berdasarkan
pemaparan di atas, dapatlah dikatakan bahwa tujuan daripada Undang-undang
Perlindungan Konsumen, adalah untuk:
i. meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya;
j. mengangkat harkat
dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif terhadap
pemakaian barang dan/atau jasa;
k. meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen;
l. menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengancung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi, serta akses untuk mendapatkan informasi;
m. membubuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
n.
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen.
Ketidak-berpihakan
terhadap konsumen menunjukkan lemahnya pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 dalam memberikan peluang keadilan di dalam penegakan Hak dan Kewajibang
Pelaku Usaha dan Konsumen dalam transaksi Barang.
Para
prinsipnya persaingan antar operator ini berpijak pada tiga hal, yaitu harga
yang murah, kelengkapan fasilitas dan kualitas pelayanan. Masing-masing mereka
berlomba mengiklankan produk dengan berbagai kelebihan yang dipunyainya.
Hasilnya memang luar biasa, pasar ponsel mengalami booming kartu
prabayar. Terjadinya booming seperti itu jelas akan diikuti oleh dampak lain
yaitu munculnya gejala kanibalisme. Pelanggan sistem abonemen karena alasan
tertentu beralih menjadi pengguna sistem prabayar. Baik dalam satu operator
yang sama maupun pindah ke operator yang lain. Dari fenomena ini mungkin timbul
pertanyaan, mengapa orang begitu memburu prepaid. Sudah bijaksanakah langkah
mereka? Mana yang sebenarnya lebih efisien, sistem post pain (berlangganan)
atau prepaid (kartu prabayar)?. Kartu prabayar lebih praktis, setelah bayar
langsung (membeli kartu) bisa digunakan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem
berlangganan yang memerlukan syarat administrasi yang berbelit – belit. Namun
alasan utama mengapa orang memilih menggunakan prabayar daripada berlangganan
bulanan, tentu ada pertimbangan ekonomis, yaitu ingin menggunakan ponsel secara
terkendali sehingga beban pembayaran lebih bisa dihemat. Tapi anehnya, banyak
kasus ditemukan, seorang yang menggunakan kartu parabayar bukanya lebih hemat,
sebaliknya malah semakin boros.
Bertolak
dari fakta tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa yang murah itu belum tentu
efisien, tapi yang efisien itu pasti murah. Dengan demikian, apalah artinya
harga prabayar yang murah jika pada saat digunakan sering terputus, atau
kualitas suaranya jelek, cakupnya terbatas, dan sebagainya. Masyarakat umumnya
sering terjebak pada kesan pertama, dengan harga murah, sering terjebak pada
kesan pertama, dengan harga murah, tetapi kualitasnya tidak dapat memuaskan
penggunanya. Semenjak awal memang keberadaaan prabayar diperuntukan bagi segmen
tertentu, seperti wisatawan, mahasiswa, pebisnis, dan sebagainya. Para pengguna
prabayar ini diperkirakan mereka yang pemakaian tiap bulannya dibawah Rp.
150.000,- sedangkan yang lebih dari itu disarankan untuk menjadi pelanggan
ponsel (abonemen). Bahkan bagi kelompok masyarakat tertentu berlaku satu dogma,
bahwa mereka “tidak pantas” jika menggunakan ponsel dengan sistem prabayar
2. Tanggung Jawab Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi
di Indonesia
Asas-asas
dan kaidah-kaidah hukum umum yang dapat diterapkan dalam Hukum Perlindungan
Konsumen antara lain termuat dalam peraturan perundang-undangan hukum perdata
tertulis dan tidak tertulis (seperti asas keterbukaan), Hukum Pidana tercantum
dalam KUHP dan di luar KUHP (Asas Praduga Tidak Bersalah), Hukum Administrasi
dan Hukum Internasional (Hukum Perdata Internasional). Isue perlindungan
konsumen merupakan suatu hal yang ada keterkaitannya dengan dunia usaha yang
mengglobal. Hal ini jelas terlihat secara tekstual dalam salah satu konsideran
Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dalam
pertimbangan butir (c) menegaskan, bahwa semakin terbukanya pasar nasional
sebagai akibat globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang
dan atau jasa yang diperolehnya di pasar. Selanjutnya, dalam butir (d)
ditegaskan, bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha
yang bertanggung jawab. Berdasarkan rumusan demikian, dapat dikatakan bahwa
pertanggung-jawaban hukum adalah: Suatu keadaan wajib atau kewajiban untuk
menanggung segala sesuatu secara hukum jika terjadi sesuatu yang boleh
dituntut, dipersalahkan ataupun diperkirakan sebagai akibat dari sikap pihak
sendiri. Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan, yaitu: perikatan
keperdataan. Dalam kaca mata hukum perdata, perikatan transaksi konsumen itu
tidak serta merta terjadi begitu saja. Perikatan konsumen merupakan pelaksanaan
dari perikatan sebelumnya, yang dapat disebut pratransaksi konsumen. Setelah
transaksi konsumen dilaksanakan, masih ada perikatan lain yang harus dipenuhi
kedua belah pihak, yang dapat disebut pasca transaksi konsumen atau transaksi
purnajual. Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting yang
harus diperhatikan oleh Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi
dalam masalah perlindungan konsumen, karena diperlukan kehati-hatian dan
analisis siapakah yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait, yaitu Penyelenggara Produk Provider
Telekomunikasi sebagai pelaku usaha. Pertanggung jawaban produk merupakan
pertanggungjawaban dari kaum produsen atau Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi
sebagai pelaku usaha terhadap kerugian yang disebabkan barang-barangnya yang
telah diserahkan/dipasarkan. Tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan
tertentu produk (cacad atau membahayakan orang lain).
Dengan
kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product schade”
yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh
produsen. Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap produsen secara hukum
perdata dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni :
a. Kerugian
transaksi (transactie schade) yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang
yang tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi.
b.
Kerugian produk (product schade) yaitu kerugian yang langsung atau tidak
langsung yang diderita dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko
produksi akibat dari perbuatan yang melawan hukum.
Selanjutnya
yang dimaksud tanggung gugat produk yang cacat dapat dirumuskan sebagai
berikut: produk cacat adalah apabila produk itu tidak aman dalam penggunaanya,
tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan orang,
dengan ,mempertimbangkan berbagai keadaan, terutama tentang: (a) penampilan
produk, (b) kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk, dan (c) saat
produk tersebut diedarkan. Selanjutnya tanggung jawab Penyelenggara Produk Provider
Telekomunikasi sebagai pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara
produsen dengan konsumen yang secara eksplisit terdapat tanggung jawab
masing-masing. Karena hubungan antara Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi
sebagai pelaku usaha dengan konsumen merupakan suatu hubungan dalam rangka
keterkaitan antara satu dengan yang lain, atas dasar latar belakang yang berbeda
Penyelenggara
Produk Provider Telekomunikasi sebagai pelaku usaha melakukan kontak
dengan konsumen berdasarkan adanya tujuan tertentu yang sudah direncanakan
(termasuk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan peningkatan produktifitas dan
efisiensi), sedangkan konsumen mempunyai hubungan dengan produsen didasarkan
adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Pertanggungjawaban Penyelenggara
Produk Provider Telekomunikasi sebagai pelaku usaha terhadap
barang-barang konsumen apabila :
a. Konsumen menderita
kerugian akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang diproduksi oleh produsen.
b. Produk cacat dan
berbahaya dalam pemakaian secara normal.
c.
Bahaya teerjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya.
Ada
3 (tiga) ciri dari pemasaran barang-barang produksi yang merupakan sifat
melawaan hukum yaitu :
a. Memasarkan
barang-barang berbahaya yang tidak masuk akal (atau seharusnya tidak dipasarkan
= onredelijk).
b. Keadaan dan
proses yang melengkapi adanya perbuatan yang melawan hukum (misalnya kesalahan
dalam konstruksi, pembuatan, pemasangan, pengawasan, instruksi dan lain-lain).
c.
Pemakaian secara normal dari barang itu dan percaya betul dari keadaan yang baik
dari barang itu.
3. Sistem Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan
dalam Penyelenggaraan Produk Provider Telekomunikasi di Indonesia
Dalam
rangka mewujudkan bekerjanya hukum sebagai kontrol sosial dan ketertiban
masyarakat, maka hukum tidak dapat bekerja sendiri secara otonomi, namun hukum
senantiasa harus dapat merespons terhadap hal-hal yang berkembang di
lingkungannya. Dengan kata lain hukum di tuntut untuk bersifat responsif. Hukum
merupakan perkumpulan ide-ide, nilai-nilai, dan konsep–konsep adalah bersifat
abstrak, dan untuk mewujudkannya sebagai pranata dalam kehidupan diperlukan
proses yang sangat dipengaruhi oleh: 1) manusia, dalam hal ini pembuat
Undang-Undang, aparat penegak hukum (birokrasi), 2) struktur masyarakat, dan 3)
lembaga/organisasi. Dari ke 3 (tiga) unsur di atas, dalam implementasinya tidak
dapat lepas dari pengaruh lingkungan (environtment) yang berupa pola dan
tingkah laku tertentu dari masyarakat. Hukum dalam menjalankan fungsinya
sebagai pengatur kehidupan bersama, hukum harus menjalani suatu proses yang
panjang dan melibatkan berbagai aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda.
Pada garis besarnya aktifitas tersebut dengan kualitas yang berbeda-beda. Pada
garis besarnya aktifitas tersebut berupa pembuatan hukum dan penegak hukum.
Hukum dalam pengertian disini bukanlah hukum dalam pengertian luas, tetapi
hukum dalam pengertian positif yaitu peraturan tertulis atau perundang-undangan
yang berlaku di suatu tempat, dalam hal ini di Indonesia. Posisi kita sekarang
pada tahap ke 4 dan ke 5 yakni pemenuhan kelembagaan / organisasi dan mekanisme
bekerjanya suatu perundang-undangan. Dengan kata lain tahap 1, 2 dan 3
merupakan aspek pemenuhan bahan hukum dan tahap 4 dan 5 merupakan aspek
struktur hukum dan pemberdayaan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap, antara lain :
a. Faktor hukumnya
sendiri, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
konsumen.
b. Faktor penegak
hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum
(pemerintah dan aparat penegak hukum).
c. Faktor sarana dan
prasarana yang mendukung penegak hukum.
d. Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau di terapkan.
Dalam hal ini adalah mencakup masyarakat konsumen dan masyarakat produsen.
e.
Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia dari dalam pergaulan hidup.
Kelima
faktor diatas, saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegak hukum, serta merupakan tolok ukur dari efektifitas penegak hukum
sesuai dengan teori proses penegak hukum. Faktor hukumnya sendiri, dalam
konteks ini yang dimaksud adalah hukum perlindungan konsumen, secara terus
menerus harus dilakukan sosialisasi agar masyarakat betul-betul memahami
keberadaan Undang-Undang perlindungan konsumen dan melaksanakannya dalam
pergaulan hidup bersama. Undang-Undang perlindungan konsumen yang dilahirkan
dalam suasana reformasi diharapkan mempunyai daya responsibilitas yang tinggi
dalam arti mempunyai dampak yang positif, mencapai tujuannya secara efektif. Selanjutnya
faktor sarana dan prasarana juga harus mendapatkan perhatian artinya tanpa
sarana dan prasarana yang memadai, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan baik. Antara lain, mencakup tenaga manusia (Sumber Daya
Manusia) yang berpendidikan, terampil, organisasi dengan baik, peralatan yang
memadai, dan keuangan yang cukup. Faktor lainnya yakni masyarakat sebagai objek
dan subjek dari penegakan hukum.
E.
PENUTUP
Ketidak-berpihakan
terhadap konsumen menunjukkan lemahnya pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 dalam memberikan peluang keadilan di dalam penegakan Hak dan Kewajiban
Pelaku Usaha dan Konsumen dalam transaksi Barang. Tataran lapangan menunjukkan
persaingan antar para pelaku usaha penyelenggara produk provider telekomunikasi
di Indonesia seringkali menyebabkan kerugian bagi konsumen. Tiga operator
ponsel GSM di Indonesia seakan-akan bersaing untuk merebut pelanggan atau
pengguna kartu prabayar yang dihasilkannya. Telkomsel, Satelindo, dan
Exelcomindo bersaing untuk memperebutkan pasar seluler dengan melempar produk
kartu prabaar (pre-paid) yang menawarkan keunggulan masing-masing.
Telkomsel lebih dulu melempar produknya dengan nama Simpati, Exelcomindo dengan
Pro-Xl, dan Satelindo dengan andalannya Mentari. Bertolak dari fakta tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa yang murah itu belum tentu efisien, tapi yang
efisien itu pasti murah. Dengan demikian, apalah artinya harga prabayar yang
murah jika pada saat digunakan sering terputus, atau kualitas suaranya jelek,
cakupnya terbatas, dan sebagainya. Masyarakat umumnya sering terjebak pada
kesan pertama, dengan harga murah, sering terjebak pada kesan pertama, dengan
harga murah, tetapi kualitasnya tidak dapat memuaskan penggunanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Campbell
Dannis (ed), Law of International On-Line Business A Global Prespective. Published
Under The Auspices of the Center For International Legal Studies. Sweet &
Maxwell. London, 1998 Damian Eddy dalam Hukum hak Cipta Penerbit PT
Alumni, Bandung, 2003 Dimatteo Larry A. International Sales Law A Critical
Analysis of CISG Jurisprudance, Cambridge University Press, 2005 Friedmann
W., Legal Theory, Third Edition, Stevens & Sons Limited, London.
Frederik Wulanmas, Aktualisasi Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, 2010 Furmston M. P. dan A. W. B. Simpson dalam
Cheshire and fifoot’s of Contract, Tenth Edition, London, Butterworths,
1981 …………………dalam Cheshire and Fofoot’s Law of Contract, Butterworth,
London ………………… Cheshire and fofoot’s Law of Contract Butterwoths.
Furmston London, 1981 Khairandy Ridwan dalam Pengakuan dan Keabsahan Digital
Signature dalam Perspektif Hukum Pembuktian. Jurnal Hukum Bisnis. Volume
18, Maret 2002 Jurisprudence, Cambridge University Press, 2005 Moss
Giuditta Cordero, International Contract Between Common Law and Civil Law;
Is Non State Law to Be Preferred? The Difficulty of Interprating Legal Standard
Such as Good Faith. Global Jurist. Advances. Volume 7, Issue 1. Article 3.
Ramli Ahmad, Cyber Lw & HaKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Penerbit
Refika Aditama, Bandung, 2004 Ramli Ahmad, Prinsip – prinsip Cyber Law dan
Kendala Hukum Positif dalam Menanggulangi Cyber Crime. Modul E-Leaning,
Makalah Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jakarta 30 Desember 2004 Saydam
Gouzali, Sistem Telekomunikasi di Indonesia, Bandung, Penerbit Alfabeta,
2003 Stein yang disadur Mariam Darus BAdrulzaman dalam Aneka Hukum Bisnis, Penerbit
PT Alumni, Bandung, 1994. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1989 Subrata dalam disertasinya yang bertema; Kejahatan
SIber Transnasional dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Internasional 2006
Pengalaman Indonesia I Sutan Renny Sjahdeini, Sistem Pengamanan E-Commerce.
Jurnal Hukum Bisnis. Volume 18, Maret 2012, Widjaya Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum
Tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2000
NAMA KELOMPOK :
ANGGI ADRIAN (20212901)
ANNE RAHMA S (20212947)
DIAN OCTAVIANA (22212029)
FINA KURNIA KD (22212959)